Di Balik Kode Etik Ada Kamu #1

Kang Kebon (22/4/25)

"Santri atau Calon Pegawai?"

1.   Mentari pagi menyapa lembut, menerobos celah dedaunan di sekitar pos satpam MAN 31. Takim, dengan santai, menikmati sebatang rokok di tangan kiri dan menggulir layar ponsel di tangan kanan. Pukul delapan pagi, suasana mulai ramai oleh hiruk pikuk calon pegawai baru dari berbagai unit kerja yang berdatangan untuk mengikuti sosialisasi.

 

2.   Lamunan Takim terhenti ketika matanya menangkap dua sosok wanita yang berjalan dari area parkir motor menuju gerbang gedung. Seorang wanita paruh baya dengan aura kharismatik, dan di sampingnya, seorang wanita muda dengan pakaian sederhana namun anggun, layaknya seorang santri.

 

3.   Berbagai pertanyaan langsung menyerbu benak Takim. "Bukankah sosialisasi ini hanya untuk calon pegawai baru? Mengapa ada santri di sini? Apakah mungkin Bu Nyai membawa serta operator dari pesantren? Atau jangan-jangan ada kesalahpahaman mengenai undangan? Atau memang undangan memperbolehkan peserta membawa pendamping?"

 

4.   Mata Takim semakin terpaku pada sosok wanita muda itu. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, sebuah ketenangan dan keramahan yang terpancar dari wajahnya. Perlahan, kedua wanita itu menghilang dari pandangan Takim, memasuki gerbang utama gedung.

 

5.  "Ah, sudahlah," gumam Takim dalam hati, menghembuskan asap rokok terakhir. "Mau santri kek, siapa kek, yang penting peserta utama bisa mendapatkan pembekalan yang bermanfaat." Ia kembali fokus pada sisa rokok di tangannya.

 

6.   Acara sosialisasi dan pembekalan berlangsung di aula utama gedung. Para pemateri menyampaikan materi sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Takim, yang bertugas memantau kelancaran acara, hanya mengamati dari balik ruangan hingga acara usai.

 

7.  Namun, rasa penasaran tentang sosok wanita santri itu kembali menghantuinya. "Jika dia peserta sosialisasi, bagaimana dengan ijazahnya? Bukankah ijazah adalah syarat mutlak? Bagaimana mungkin seseorang tanpa ijazah bisa mendaftar sebagai calon pegawai?"

 

8. Tak ada penjelasan logis yang terlintas di benaknya. Ia hanya bisa berasumsi bahwa wanita itu memang berasal dari kalangan santri, dengan penampilannya yang sederhana dan sopan. Mungkin seorang santri senior, seorang ustadzah yang telah lama mengabdi di pesantren.

 

9. Sekitar empat jam berlalu, Takim beranjak menuju ruang administrasi untuk berkoordinasi dan melaporkan kepada pemilik gedung bahwa acara telah selesai. Ia juga sekalian berpamitan untuk pulang. Kegiatan sosialisasi di MAN 31 berjalan dengan lancar dan tertib.

 

10.  Namun, rasa penasaran Takim belum juga reda. Ia menuju gerbang depan, berharap dapat melihat kembali sosok wanita santri yang bersama Bu Nyai. Ia ingin memastikan siapa sebenarnya wanita itu, dan jika memungkinkan, bertanya langsung.

 

11.  Hingga seluruh peserta pulang dan kembali ke tempat tugas masing-masing, sosok wanita itu tak kunjung terlihat. Jawaban atas rasa penasarannya masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

 

12.  Setibanya di tempat tugas, Takim kembali berkutat dengan pekerjaannya. Deadline yang menanti membuatnya untuk sementara melupakan teka-teki tentang wanita santri misterius itu. Pekerjaan harus menjadi prioritas utama.

 

13.  Setelah menyelesaikan semua tugas yang mendesak, pikiran Takim kembali tertuju pada sosok santri misterius itu. Ia mencoba berbagai cara untuk mencari tahu identitasnya, namun pikirannya terasa buntu. Padahal, biasanya Takim cukup lihai dalam mencari informasi tentang seseorang, apalagi ia memegang data para peserta sosialisasi.

 

14.  Namun, ia hanya memiliki gambaran wajah. Bagaimana mungkin ia bisa mencocokkannya dengan data peserta yang hanya berisi nama, tempat tugas, dan tanda tangan, tanpa adanya foto?.

 

15.  Iseng, ia membuka grup WhatsApp dan melihat foto-foto dokumentasi kegiatan sosialisasi yang telah berlangsung. Ia hanya melihat sekilas, tanpa benar-benar memperhatikan detail setiap wajah.

 

16.  Aura penasaran kembali membakar benaknya. Ia kembali membuka galeri ponselnya, mencermati satu per satu foto di grup. Ia memperbesar setiap wajah, berharap menemukan petunjuk. Dan tiba-tiba, matanya terbelalak! Di salah satu foto, tampak jelas wajah wanita santri misterius itu. Lega, satu teka-teki terjawab.

 

17.  Kini, muncul pertanyaan baru: siapa nama wanita itu? Benarkah ia seorang santri? Atau hanya seorang peserta dengan penampilan layaknya santri? Bagaimana cara mengetahui namanya jika ia benar-benar seorang santri?

 

18.  Tak mungkin rasanya bertanya secara lugu di grup, "Siapa nama wanita yang ada di foto ini?". Itu terlalu klise. "Ah, sudahlah," pikir Takim, mencoba mengalihkan perhatiannya kembali pada pekerjaan.

 

19.  Hingga tujuh hari berlalu sejak acara sosialisasi tanggal 8 Januari, Takim belum juga menemukan titik terang. Ia hanya bisa melihat fotonya di grup yang sudah tersimpan di galeri ponsel. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Ia mengirim ulang foto tersebut ke grup, membuat lingkaran pada empat orang yang berbeda, dengan keterangan khusus yang mengarah pada sosok wanita santri itu.

 

20.  "Yang namanya dilingkari mohon untuk japri, ada hal yang perlu dikonfirmasi," tulis Takim di grup, berharap keempat orang yang dilingkari akan segera menghubunginya secara pribadi. Namun, hanya dua orang yang melakukan japri karena memang sudah saling menyimpan kontak. Dua orang lainnya, termasuk wanita santri misterius dan Bu Nyai, tidak memberikan respons. Harapan Takim untuk mendapatkan kontak WhatsApp wanita itu pun sirna. Misi untuk mengetahui namanya dianggap gagal sejenak.


Baca juga

Episode #2


Menggapai Asa di Ujung Penantian SK NIP PPPK 2024

Post a Comment