(Kang Kebon (24/4/25)
Episode 3 - Senandung yang Tak Lekas Berbalas
Layar laptop Takim memancarkan cahaya redup di tengah kesunyian malam. Notifikasi pesan WhatsApp yang baru masuk membuatnya tersentak dari lamunan. Bukan dari Tikcan. Lagi-lagi bukan. Sudah hampir dua minggu sejak pesan perkenalan pertamanya terkirim, dan balasan dari pemilik nama "Tikcan" itu masih menjadi misteri yang menggantung di udara.
Awalnya, Takim dipenuhi optimisme. Pertukaran informasi lebih lanjut, begitu harapnya. Ia membayangkan obrolan hangat, tawa renyah, dan mungkin, pertemuan yang tak disangka-sangka. Namun, realita komunikasi dengan Tikcan jauh dari ekspektasinya.
Pesan-pesan Takim, yang awalnya berisi sapaan sopan, kemudian berkembang menjadi pertanyaan ringan tentang kegiatan sehari-hari, bahkan sesekali menyelipkan humor canggung, seolah menabrak dinding bisu. Balasan dari Tikcan sangat jarang, dan itupun singkat, seperlunya, bahkan terkesan formal.
"Iya, data sudah saya kirim."
"Terima kasih infonya."
"Baik."
Hanya itu. Satu atau dua kata yang mengakhiri harapannya untuk sebuah percakapan yang mengalir. Namun, anehnya, Takim tak menyerah. Ada sesuatu dalam respons singkat Tikcan, atau mungkin lebih tepatnya, dalam ingatannya tentang senyum teduh itu, yang membuatnya terus mencoba.
Setiap pagi, sebelum memulai pekerjaannya, Takim selalu menyempatkan diri mengirimkan sebuah pesan kecil. Sekadar menyapa, menanyakan kabar, atau membagikan sebuah artikel menarik yang menurutnya mungkin disukai Tikcan. Ia melakukannya bukan lagi dengan debar jantung penuh antusias, melainkan dengan semacam kebiasaan yang penuh harap, seperti menabur benih di tanah yang kering, berharap suatu saat akan tumbuh.
Teman-teman panitia yang menyadari intensitas Takim mencari perhatian Tikcan mulai memberikan komentar.
"Kim, itu si Tikcan kayaknya nggak terlalu tertarik deh. Udah dua minggu loh, balasnya gitu-gitu aja," ujar Risa suatu siang saat mereka makan siang bersama.
Takim menghela napas. "Gue juga ngerasa gitu, Ris. Tapi... entah kenapa, gue ngerasa ada sesuatu. Mungkin dia memang tipe orang yang nggak terlalu aktif di chat."
"Atau mungkin dia sibuk," timpal Bagas, mencoba bersikap netral. "Kita kan nggak tahu kesibukannya apa."
Namun, jauh di lubuk hati Takim, keraguan mulai menyusup. Apakah ia hanya berpegangan pada ilusi tentang seorang wanita yang mungkin bahkan tidak mengingatnya? Apakah senyum teduh itu hanya interpretasinya sendiri, terbawa suasana sosialisasi yang hangat?
Meskipun demikian, Takim tetap melanjutkan "ritual" paginya. Ia merasa, berhenti mencoba sama dengan mengakui kekalahan sebelum berperang. Ada semacam keyakinan kecil yang masih bersemi di hatinya, didorong oleh rasa penasaran yang tak kunjung padam.
Suatu malam, saat Takim sedang mengerjakan laporan di laptopnya, sebuah notifikasi WhatsApp dari Tikcan muncul. Jantungnya berdegup kencang, kali ini bukan lagi harapan, melainkan semacam kejutan yang membingungkan.
Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Maaf ya, Kak Takim. Saya lagi kurang enak badan."
Sederhana. Singkat. Namun, bagi Takim, pesan itu terasa seperti setitik air di tengah gurun pasir. Itu adalah balasan yang lebih panjang dari biasanya, dan yang terpenting, ada nada personal di dalamnya. Ada permintaan maaf.
Takim segera membalas dengan nada khawatir, menanyakan kondisi Tikcan dan mendoakan kesembuhannya. Balasan dari Tikcan kali ini datang lebih cepat, meskipun tetap singkat.
"Terima kasih, Kak. Nggak apa-apa kok, cuma demam biasa."
Percakapan singkat itu, meskipun tidak mengarah ke obrolan yang ia impikan, memberikan Takim secercah harapan baru. Setidaknya, Tikcan membaca pesannya. Setidaknya, ada alasan di balik responsnya yang dingin. Mungkin, di balik layar itu, ada seseorang yang sedang tidak dalam kondisi terbaik untuk berbasa-basi.
Takim memutuskan untuk memberikan ruang. Ia tidak lagi mengirimkan pesan setiap pagi. Ia membiarkan Tikcan beristirahat dan memulihkan diri. Namun, ia tetap menyimpan nomor Tikcan di daftar obrolan teratasnya, sesekali meliriknya dengan harapan akan ada kabar baik.
Beberapa hari kemudian, Takim menerima pesan lagi dari Tikcan. Kali ini, pesannya lebih panjang: "Assalamualaikum, Kak Takim. Sudah lama ya nggak ngobrol. Maaf kemarin-kemarin kurang enak badan. Terima kasih sudah perhatian."
Sebuah senyum tak tertahankan merekah di bibir Takim. Senandung di balik layar itu akhirnya memberikan respons yang lebih hangat. Petualangannya untuk mengenal Tikcan, meskipun berjalan lambat dan penuh tantangan, tampaknya belum berakhir.
Kali ini, Takim membalas dengan hati-hati, mencoba membangun percakapan yang lebih bermakna, berharap senandung itu akan semakin jelas terdengar. Ia tak sabar untuk mendengar melodi yang sesungguhnya dari balik nama "Tikcan" itu.